kalian harus tau kalo cerita ini bukan nyeritain gua, ini cerita tentang temen gua yang setengah real setengah fiksi haha enjoy yaa maap size font kegedan._.V
“Pas sekali!” tiba-tiba shella berteriak di sampingku
“Pas apa?” tanyaku penasaran mendengar teriakannya.
“Itu.. Ada lidya dan
kareina” jawab shella
dengan menunjuk kecil ke arah dua orang di depan kami.
Ya, aku memang menyukai kedua perempuan itu. Tidak salah kan menyukai
dua orang sekaligus? Lagipula,
siapa yang tidak tertarik dengan mereka berdua? Lidya -ketua klub dance di sekolah ku yang sangat menarik. Sedangkan, kareina anggota klub komputer yang tak kalah
menariknya
“Kalau boleh tahu, kau lebih suka dengan lidya atau kareina?” sebuah pertanyaan
yang terdengar sangat menyulitkan untukku keluar begitu saja dari mulut shella.
Aku berpikir keras. lidya?
kareina? lidya? kareina? lidya? kareina?
Aku mengulang-ulang nama mereka berdua, berusaha memilih yang terbaik di antara mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk menjawab dengan mengangkat kedua pundakku tanda kalau aku benar-benar tidak tahu dan bingung.
Aku mengulang-ulang nama mereka berdua, berusaha memilih yang terbaik di antara mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk menjawab dengan mengangkat kedua pundakku tanda kalau aku benar-benar tidak tahu dan bingung.
“tasya?” aku
bergumam sendiri ketika aku melihat seorang wanita berambut hitam duduk di tengah-tengah diantara lidya dan kareina. Kalian tahu siapa tasya? Dia adalah murid terdiam di kelasku. Nama panjangnya Tasya eirena ayudian, tanggal
lahirnya adalah 20 september,
dan ia sangat membenci cherrybelle! Aku bertaruh kalian pasti tahu kenapa
aku sangat detail mengetahui tentang dirinya. Yup! Aku memang pernah
menyukainya.. ketika awal-awal masuk sekolah ini.
Tapi, kini aku tak lagi menyukainya. Kenapa? Sifat fanatiknya
terhadap Girls Generation terlalu
menyulitkanku untuk bergabung dengan kehidupannya secara pribadi. Jujur, dulu,
aku pernah mendekatinya. Dan apa yang kami bicarakan? Kami membicarakan seputar member girls generation bahkan
ia menceritakan bias
utama di dalam girlband kesukaannya itu ! Tentu saja aku bukanlah orang yang tahu semua itu, aku hanya
menjawab dengan anggukan atau tawa jika ia sebenarnya ingin membuatku senang. Kini semua berubah, aku benar-benar
menjauhinya. karena ia sangat fanatic
dengan Girls Generation.
Tadinya kufikir aku tidak akan pernah mendekati tasya lagi . tapi ternyata aku salah.
saat jam makan siang setelah olahraga kemarin aku sangat lapar. Aku pergi menuju kantin dan ternyata semua makanan telah habis
semua. Terpaksa aku kembali ke kelas. Kulihat beberapa temanku membawa bekal,namun
untuk memintanya? Dih ! ,seorang Iwan tidak akan mau meminta
bekal orang lain bahkan sampai aku pingsan sedikitpun.
“Iwan..,kau kelihatan sangat lapar. Mau?”
Tasya menawariku nasi goreng yang ada di kotak
makanannya. Walau malaikat kananku berusaha untuk menganggukan kepala,tapi
tidak untuk setan kiriku. “Sungguh?
Kau tak mau?” katanya yang
berusaha meyakinkan ku. aku mengalihkan pandangannku. Namun lama tak ada
respon aku meliriknya sekilas. Ia dengan lahap memakan bekalnya tanpa melihat
kearahku. Akhirnya dengan tekad bulat .Kuambil sendoknya
dan hendak memakan nasi goring
yang tersisa 1sendok lagi
“SEORANG IWAN
MEMINTA MAKANAN!!” Shella berteriak sangat kencang hingga
orang-orang yang ada dikelas menengok kearah ku
Seketika
shock berat melandaku.
“BWAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAA” shella tertawa sangat kencang. Entah
kenapa,saat itu juga aku ingin menyekapnya di peti kayu dan menghanyutkannya ke
laut.
***
Cinta
pertama. Apa yang bisa kau ceritakan tentang cinta pertamamu? Bagaimana
perasaanmu saat itu saat pertama kali kau menyadari semua tak biasa, semua jauh
dari kata normal? Bagaimana ending dari kisah cinta pertamamu?
Menyenangkan-kah? Atau… sebaliknya?
Masih teringat jelas di otakku. Kala itu hari Sabtu hari dimana untuk pertama
kalinya aku menyadari kehadiranmu di kehidupanku. Kala itu, sepulang sekolah,
aku bersama tiga temanku mengunjungi sebuah supermarket yang mana pada lantai duanya terdapat
sebuah toko buku langganan kami. Sebelum naik ke lantai dua ke toko buku tersebut, kami
berniat untuk mencari beberapa snack di lantai dasar. Dan saat itulah… aku
melihat kau berjalan dari kejauhan bersama kedua temanmu. Melihat wajah salah
seorang temanmu, rasanya tak asing. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku
menyadari kalau kau bersekolah di tempat yang sama denganku.
Penampilanmu saat itu… sungguh membuatku terpaku beberapa menit. Rambutmu halus, lengkap dengan belahan tengah yang memberi kesan modern-fashioned. Lalu, tinggi badanmu yang bisa di bilang dibawah rata-rata. Bahkan, jika mungkin aku berdiri di sampingmu, kau hanyalah sebatas pundakmu. Dan
yah, kau juga memakai pakaian
trend masa kini sehingga memberikan image
‘cewek
gaul’. Tapi, di balik itu semua, ada
satu hal yang telah membuatku terpana. Senyummu Senyum yang terlihat begitu tulus.
Siapa namamu?
Kau murid di kelas mana?
Dua pertanyaan simple itu mulai menghantui pikiranku. Dan seakan mengerti dengan aku yang saat itu benar-benar
penasaran denganmu semua situasi pada dua hari kemudian memberi jawaban untuk dua
pertanyaan itu. Tepatnya setelah upacara. Di antara semua murid yang
berdesak-desakan dan berebut untuk bisa segera bergerak menuju kelas mereka
masing-masing, kau justru datang dari arah berlawanan dan… lagi, kau membuatku
terpaku untuk beberapa saat. Aku bisa merasakan jantungku berdegup lebih cepat
saat kau melintas di hadapanku. Rika rindani. Pada gantungan
handphone yang kau bawa saat itu
bertuliskan nama mu , akhirnya satu pertanyaanku
telah terjawab dengan sendirinya. Namamu rika rindani.
Perlahan, dan tanpa terduga, kaki ini telah melangkah mengikutimu secara diam-diam.
Dan saat itu aku bisa melihat kau sedang berlari bersama teman-temanmu menuju
sebuah ruangan yang terletak bersebelahan dengan kelasku. Kelas 9B.
Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan lain tentangmu terus
bermunculan. Satu per satu, nyaris membuat diriku sendiri kewalahan bagaimana
mengatasi semua rasa penasaran yang telah bersarang di otakku saat itu. Tapi,
beruntungnya aku. Selalu ada saja situasi yang membawaku untuk mengetahui
jawaban dari semua pertanyaan itu. Dan semakin hari, semakin banyak hal yang
kutahu tentangmu.
Semakin hari juga, aku menyadari kehadiranmu yang ‘mendadak’ itu
telah membuatku jadi tak
biasa. Ada rasa bahagia tersendiri saat melihatmu berjalan dari arah yang
berlawanan, yang pada akhirnya kita berdua berpapasan pada satu titik. Ada rasa rindu yang diam-diam
kusimpan saat sehari saja tak melihatmu di sekolah. Aku rasa… aku menyukaimu.
***
Banyak sekali hal lucu, dan membuat hatiku selalu berdebar kencang
saat aku mengingat tentangmu
perempuan yang sudah kukagumi selama dua
minggu terakhir ini. Mungkin kau tak akan mengingat
semua hal itu. Tapi aku? Sekecil apapun hal itu, akan kuingat sampai se-detail mungkin. Semuanya telah kurekam dan
kusimpan baik-baik pada beberapa tempat di memori otakku.
Apa kau ingat, bagaimana kau selalu tersenyum, saat teman-temanku
memanggil namamu setiap kau lewat di depan kelasku? Haha, mungkin kau tak
mengerti kenapa mereka melakukan hal bodoh itu. Mereka bertingkah seperti itu
karena… saat itu, rahasiaku yang telah lama menyukaimu terbongkar begitu saja. Dan mereka teman-temanku senang sekali membuatku tersipu malu serta salah tingkah dengan
cara yang konyol itu.
Lalu… Apa kau ingat bagaimana kita terjebak dalam hujan dikoridor sekolah? Ah, memang, saat itu bukan hanya kau dan aku yang terjebak dalam
hujan besar dikoridor
sekolah itu. Ada banyak murid lain yang mengalami hal sama. Tapi, walau
hanya hal sekecil ini sekali lagi kukatakan aku tak akan melupakannya.
ohiya, apa kau ingat saat kau bermain dengan teman-temanmu di taman?
Saat itu, kau dipukul oleh seorang temanmu sehingga perutmu terasa sakit… Kau
terus memegang perutmu. Dan di sampingmu, ada temanku dan baru kutahu, bahwa temanku,
telah bersahabat lama dengan semua temanmu,Rika. Temanku menirukan
gerak-gerikmu sampai-sampai aku berpikir bahwa temanku-lah yang tengah
kesakitan. Lalu, dengan konyolnya, aku berlari sambil berteriak, “Tenaga medis
datang… Tenaga medis datang!”. Sontak, semua temanmu tertawa terbahak-bahak
mendengar teriakanku. Begitu juga denganmu. Aku bisa melihat raut wajahmu yang
kesakitan berubah menjadi sedikit lebih cerah. Apakah itu karena aku? Ah,
kuharap iya…
Pada hari itu juga, untuk pertama kalinya aku duduk pada jarak
yang cukup dekat denganmu. Melihatmu dari jarak yang sangat dekat, melihat lagi
senyuman itu senyuman yang berhasil membuatku terpana itu. Lalu… Apa kau ingat saat kau
tengah mempertunjukkan suara
indah mu di depan semua murid di sekolah kita? Saat itu kau benar-benar
membuat semua orang terpukau! Dan seperti biasa, teman-temanku yang jahil,
menyorakkan namaku dengan keras saat kau memperlihatkan kebolehanmu di depan
banyak orang. Mereka bahkan sukses membuat wajahku merah dan langsung salah
tingkah. Aish, benar-benar memalukan!
Benar, kan? Aku tak melupakan semuanya tentangmu, sekecil apapun
itu. Terlebih saat ini… detik-detik terakhirku untuk bertemu denganmu.
Karena beberapa minggu lagi, mungkin kita akan melanjutkan sekolah ke tempat
yang berbeda. Dan yang kudengar, kabarnya kau akan mengikuti tes pada sebuah sekolah di luar
kota. Sedih, tapi aku tak mau berlarut-larut dalam kesedihan itu. Yang
terpenting sekarang, aku akan terus menyimpan semua kenangan manis tentangmu
itu di memori otakku untuk jangka waktu yang lama.
***
Hey, ternyata aku salah. Semakin banyak kenangan manis tentangmu yang tersimpan di dalam
otakku, aku malah semakin hanyut dalam kesedihan. Mungkin aku saja yang belum
terbiasa dengan suasana seperti ini. Dimana Setiap pagi aku tak dapat bertemu denganmu pada sebuah gang kecil
yang akan membawa kita ke sekolah. Aku tak dapat lagi melihat kau berlari kesana-kemari bersama
teman-temanmu. Tak ada lagi waktu khusus yang akan kusediakan hanya untuk
menontonimu yang tengah berlatih nyanyi. Sepertinya, aku benar-benar
mulai merasa kehilangan. Kehilanganmu, Rika. Mungkinkah kita bertemu lagi?
Aku tak tahu kalau akan seperti ini jadinya. Aku tak tahu kalau
aku akan segera pindah ke jakarta dan meninggalkan semua hal indah yang ada disini, tempat yang sudah kutempati
sejak lahir. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, kemungkinan untuk bisa kembali
bertemu denganmu semakin menipis. Nyaris tak mungkin. Ya, nyaris.
Karena ternyata, aku bisa bertemu kembali denganmu. Saat itu. Pada saat-saat
terakhirku berada di solo . Teman-temanku mengadakan sebuah acara perpisahan sederhana.
Semua benar-benar tak kusangka. Diawali dengan insiden temanku yang ‘katanya’
jatuh dari sepeda motor dan terluka cukup parah. Lalu, aku disuruh
menjemputnya. Aku berjalan dengan penuh rasa khawatir. Lama-kelamaan, semakin
cepat langkah kakiku, semakin jelas sosok yang ada di hadapanku saat itu. Itu…
Bukankah… Rika?? Aku benar-benar tak tahu harus bersikap apa. Semua perasaan
ter-campur-aduk begitu saja bagaikan adonan kue senang, terharu, sedih,
kaget, ah… bahkan aku sendiri tak dapat menjelaskannya apa saja yang kurasakan
saat itu. Perlahan aku mundur, berbalik badan, dan kemudian berlari, kembali ke
rumah
Dan saat itu juga, aku tahu: Teman-temanku lah yang merencanakan
ini semua. Mereka bahkan menyuruh kau untuk menghampiriku, sekedar meluangkan
waktumu… untuk aku, yang mungkin tak akan bisa lagi melihatmu. Semua hal yang
terjadi di hari itu serba tak terduga, terlebih saat kau mengajakku
jalan-jalan. Berdua hanya berdua. Hanya aku dan kau, kau dan aku. Tapi entah karena
apa, aku menolak ajakan itu. Mungkin… Aku terlalu malu jika hanya berdua
denganmu. Lantas, kau tak begitu saja meninggalkanku. Kau justru menungguku di
teras rumah. Cukup lama kau menunggu… dan karena terlalu lama, teman-temanku
mulai gemas. Salah satu diantara mereka pun berinisiatif untuk mengambil tiga
helai kertas putih polos dari jurnal
ku . Itu surat yang sudah sejak lama kutulis untukmu. Dan sekarang,
tiga helai kertas yang menceritakan tentang semua perasaanku itu telah mendarat
tepat pada kedua telapak tanganmu. Dari kejauhan, aku bisa melihat kau sedang
membaca suratku sambil tersenyum. Apa kau menertawakanku, Rika? Apa kau menertawakan aku, secret admirer-mu yang konyol
ini?
Setelah membaca surat itu, kau kembali menghampiriku. Kau kembali
mengajakku untuk pergi denganmu. Aku tetap bersikeras tidak mau. Namun…
tiba-tiba kau menarik tanganku, lalu membawaku pergi bersamamu. Kita berdua,
dengan sepeda motor, menyusuri jalan-jalan yang ada di sekitar rumahku.
“Apa kabar?” kau bertanya, mengawali pembicaraan.
“Baik” jawabku singkat, karena terlalu gugup.
Setelah itu, kita kembali terdiam. Benar-benar awkward. Tak lama kemudian,
sebelum kau mengantarkanku kembali pulang ke rumah, kau meminta untuk
bertukaran nomor telepon. Kau bilang, kau ingin bisa berteman baik denganku.
Ah, hari itu…tak akan kulupakan!
***
Aku menjalani kehidupan di Jakarta seperti biasanya. Mungkin
karena sebelumnya aku sudah terbiasa tanpamu. Atau mungkin… karena sekarang aku
sudah lebih sering berkomunikasi denganmu, walau hanya melalui beberapa pesan
singkat? Kau tahu, aku tak bisa mengungkapkan bagaimana bahagianya aku bisa
berkomunikasi denganmu! Benar-benar seperti sebuah keajaiban! Kau bahkan tak
hanya sekedar mengirimkan pesan singkat, kau juga sering mengirimkan rangkaian
kata-kata indah yang tergabung dalam sebuah puisi. Bahkan, kau juga pernah
membuatku kaget hanya dengan pesan singkatmu yang berbunyi: ‘Aku
merindukanmu, Iwan. Rasanya menyesal kita baru bisa dekat sekarang’
Benarkah? Tentu saja. Kau berbohong. Kau membohongiku.Selang beberapa hari
setelah kau mengirimkan pesan yang telah berhasil membuatku terpaku sesaat,
lalu lompat-lompat kegirangan seperti orang gila itu, kau kembali membuatku
kaget dengan sebuah pengakuan.
Pertama, kau tak mengirimi puisi-puisi indah itu hanya untukku.
Kau mengirimkannya kepada semua kontak yang ada di handphone-mu. Kedua, kau
hanya menganggapku sahabat. Tak lebih, tak kurang. Dan yang ketiga, kau bilang
bahwa kau telah berpacaran dengan seseorang yang juga kukenal. Dia adalah laki-laki keren dan pintar yang dulu beberapa bulan lalu juga bersekolah di tempat yang sama seperti kau… dan aku.
Bodoh. Seperti orang bodoh saja, haha. Atau memang aku yang bodoh? Memendam perasaan yang terlalu dalam
untukmu, sehingga kau bisa memanfaatkanku begitu saja? Tunggu. Kapan dia
memanfaatkanku? Ah, entahlah. Yang jelas, saat itu juga, aku benar-benar kehilangan arah. Sakit.
Padahal, bukankah kau selalu mengatakan kau merindukanku? Bukankah kau
mengatakan itu karena… paling tidak, kau juga mempunyai rasa yang sama
denganku, Rika? Kau telah membuatku terlanjur
bahagia. Tapi semua yang kurasakan selama ini ternyata salah. Salah. Lantas,
kuhapus namamu dari phonebook. Kuhapus semua pesan manis yang
bisa membuatku berpikir bahwa kau juga akan menyukaiku. Kuhapus semua kenangan
yang pernah kujaga baik-baik dalam memori otakku. Aku menghapus semua hal
tentangmu. Semua.
***
“Kau terlambat
pulang lagi iwan! ” omel ibu ku , begitu aku datang terlambat
ke sebuah toko
kue yang sudah menjadi tempat tinggalku sejak setahun yang lalu.
“Maaf~” balasku pelan, dengan memasang jurus
andalanku: wajah memelas.
“Hmm” ibu ku menghela napas. “Baiklah
baiklah, aku benar-benar tak bisa melihat wajah memelasmu itu. Sekarang, cepat
jaga kasir! Aku ada janji
dengan ibu-ibu komplek”
“iyaa~ bu!” Aku tersenyum. Fiuuh,
untung saja aku terbebas dari omelan panjang ibuku, lagi, hahahah!ibu , maaf, aku sepertinya memang bukan anak yang baik. Tapi kau tahu, aku
menyayangimu kok, hahahah!
Kulangkahkan kaki menuju tempat kasir sambil mengancingkan celemek
yang menjadi seragam utama para pelayan toko kue ini. Setelah selesai, sambil
memamerkan senyuman, kuangkat kepala dan… “selamat da…tang?” perlahan suaraku semakin mengecil, ketika
melihat seorang pelanggan di hadapanku. Dia. Ya, dia. Ya Tuhan…
“Kau? Achmad
ichwan kan?” tanya pelanggan itu, dengan ramah.
Wajah itu. Senyuman itu. Dia… Rika rindani. Kenapa
aku harus bertemu lagi dengannya?
“Ng… I-Itu… Ah, maaf, kau mau memesan apa?” balasku gugup.
“Hahaha” ia tertawa pelan. Mungkinkah
ia menertawaiku yang tengah kikuk? Apakah aku benar-benar terlihat seperti
orang bodoh di hadapanmu rika?
“Tak usah terlalu formal dan kaku, wan…” lanjutnya.
Aku tak merespon ucapannya. Suaraku tertahan begitu saja. Wajahku
memanas, dan sekujur badanku mulai lemas. Ya, selalu seperti ini saat bertemu
dengan rika.
“Aku pesan dua buah cup cake choco melt” ujarnya, yang sepertinya tahu
kalau saat ini, aku sama sekali tak ingin berbasa-basi dengannya. Dengan cepat,
aku langsung membuatkan pesanannya, membungkusnya, lalu memberikannya kepada rika. “Terima kasih, Iwan”
Lagi, aku tak merespon ucapannya. Rika pun berlalu dari hadapanku. Sekujur badanku,
yang sudah lemas karena baru saja dipertemukan kembali dengannya, tiba-tiba
kehilangan keseimbangan tubuh. Aku terduduk lemas. Untung saja pagi ini masih
sepi pelanggan. Jadi, tak akan ada yang complain jika aku seperti ini sekarang.
Rika … kau berubah banyak. Semakin cantik. Tapi senyumanmu itu, tetap
sama. Tetap bisa membuatku merasa seperti ini, persis seperti sembilan bulan yang lalu. Kau tahu, rika, sekarang aku sudah berhasil
melupakanmu. Tentangmu, tentang semua kenangan indah yang pernah kulalui
bersamamu, semuanya. Tapi, kenapa kau harus datang kembali… membuatku luluh
lagi?
***
“iwan?”
Sepertinya seseorang baru saja menyebutkan namaku. Aku, yang baru
saja siap mengunci toko, langsung berbalik badan dan mencari dari mana sumber suara itu
berasal. “Kau…”
“Aku menunggumu…”
Ya, kau. Rika
“Sudah lama sekali kita tak bertemu. Apa tak lebih baik jika kita
berbicara sebentar?” tanyanya, dengan senyuman itu.
Aku menundukkan kepala. “M-Maaf, tapi aku harus segera pulang… Karena…
Aku… Aku memiliki segudang tugas di rumah”
“Sebentar saja, wan..” ucap rika, kini tangannya telah memegang
erat tangan kananku. Aku sempat terdiam, namun pada akhirnya dengan mudah, aku
mengiyakan permintaan rika barusan.
Kami memilih untuk duduk di sebuah bangku taman. Bangku kayu itu
cukup luas, namun aku memilih untuk duduk berjauhan dengan rika. Untuk beberapa saat, kami pun
hanya diselimuti dengan keheningan.
“Apa kabarmu?” tanyanya, sambil melirik ke arahku yang masih
menundukkan kepala.
“B-Baik. Seperti yang kau lihat” jawabku singkat, dan terdengar
sedikit ketus.
Kami kembali terdiam.
“Ng… tak kusangka bisa bertemu lagi denganmu di jakarta, iwan”
“e-eh, iya~”
Benar-benar awkward.
Sampai sekarang… aku masih belum bisa menjelaskan bagaimana rasa
cinta pertama itu. Menyenangkan, atau… justru menyedihkan? Aku tak tahu. Tapi,
satu hal yang aku tahu betul… Sampai sekarang, aku belum bisa melupakannya cinta pertamaku, Rika Rindani.